Refleksi oleh kak Dewi: Pena - Pena dari Kampung Pattung

 

Dokumentasi pribadi milik Komunitas KUN

Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Halo kakak-kakak KUNers di mana pun berada! Semoga kabar kalian senantiasa dilingkupi dengan kebaikan dan dalam keadaan yang sehat, ya! Tulisan ini hadir untuk memberi ruang di jiwa untuk merenungi kondisi pendidikan di sudut negeri yang memprihatinkan.

Hari Pertama – Langkah Pertama Menuju Pattung

Pagi itu, langit Makassar tampak biasa saja. Tapi hati kami tidak. Ada debar yang tak bisa dijelaskan, ketika aku dan dua belas relawan lain mengikatkan tali sepatu dan menggendong ransel menuju tempat yang belum pernah kami injak sebelumnya: Kampung Pattung.

Perjalanan kami dimulai dari Makassar, dengan motor yang melaju dalam waktu satu jam menuju Maros. Satu jam menembus jalanan aspal yang perlahan-lahan berubah menjadi tanah merah. Saat kami tiba di titik parkir terakhir, dunia yang kami kenal seolah tertinggal di belakang. Tidak ada suara kendaraan, tidak ada sinyal. Hanya alam yang bicara.

Dari parkiran itu, kami berjalan kaki selama dua jam menuju Kampung Pattung. Jalan setapak menanjak dan menurun, dikelilingi pohon-pohon tinggi dan hijaunya bukit. Dua sungai kami seberangi airnya bening, dingin, dan menyegarkan, seolah menyambut kami dengan tangan terbuka. Hutan menyanyi dalam diam, dan kabut perlahan memudar digantikan langit biru cerah.

Ketika kami tiba di Pattung, pemandangan di depan kami seperti lukisan: rumah-rumah panggung dari kayu, kebun kecil di samping rumah, dan anak-anak yang berlarian tanpa alas kaki, tetapi penuh tawa. Hingga menjelang sore, alam terus menyambut kami dan akhirnya, matahari perlahan tenggelam, meninggalkan sunset yang begitu indah, seolah memberi restu atas kehadiran kami.

Dari 13 relawan, belum ada yang benar-benar akrab. Kami masih canggung, masih sibuk dengan dunia masing-masing. Tapi ada aturan sederhana yang mengubah segalanya: semua ponsel dikumpulkan. Empat hari tanpa layar, empat hari untuk benar-benar hadir. Malam pun datang. Kami sholat Magrib dan Isya berjamaah, lalu makan malam bersama. Suara alam mengiringi, jangkrik, angin, serta dedaunan. Tidak ada suara notifikasi, tapi hati kami terasa penuh. Sunyi yang menenangkan.


Hari Kedua – Mengajar dengan Hati, Belajar dengan Jiwa

Pagi dimulai dengan sejuk yang menggigit kulit. Kami sholat Subuh berjamaah, lalu melingkar di lapangan kecil untuk senam pagi. Dingin pegunungan masih terasa, tapi tawa dan semangat relawan lainnya menghangatkan udara. Ada nyanyian, ada games ringan kami mulai lupa bahwa kami pernah asing satu sama lain.

Kegiatan belajar dibuka dengan tiga kelas utama: kelas agama, kelas alam, dan kelas kreatif. Kelas pertama dimulai dengan membuat lingkaran besar, kami menyanyi dan memperkenalkan diri terlebih dahulu. Hari itu hari pertama aku bertemu dengan Agus, aku mencoba berkenalan dan mengakrabkan diri dengan Agus.

Di kelas agama, kami mengajarkan bacaan sholat, adab sebelum dan sesudah sholat, serta rukun Islam. Anak-anak duduk bersila dalam masjid dengan penuh perhatian. Beberapa dari mereka mengangkat tangan, ingin mencoba membaca doa dengan suara lantang. Mereka begitu bersemangat, dan kami pun terpana dengan antusiasme polos mereka. Setelah itu kami para relawan mengambil satu anak anak untuk menguji bacaan sholat mereka. Aku dengan salah satu anak, yaitu Agus, anak pendiam yang wajahnya selalu serius.

Aku memanggilnya pelan, “Agus, kamu siap?”

Ia maju dengan langkah pelan dengan sarung yang sedikit lusuh, matanya menunduk, tapi penuh semangat.

“Agus sudah hafal yang mana?’’ Agus hanya menunduk dan diam

‘’Ayok coba Iftitah’’ Agus mulai mengafalkannya dengan terbata-bata.

Aku tersenyum. “Masya Allah, bagus sekali! Lanjut Al-Fatihah, ya.”

Agus melanjutkan dari takbir hingga salam, walaupun masih ada yang terbata bata.

“Luar biasa, Agus!” pujiku sambil mengeluarkan snack dari dalam kantongku.

“Ini hadiah dari kakak.  Terima kasih kamu sudah berusaha luar biasa hari ini.”

“Makasih, kak,” katanya malu-malu dengan mata yang berbinar.

Tak terasa kelas agama selesai, anak anak dan kakak relawan membuat lingkaran besar lagi di lapangan depan masjid. Kelas alam pun dibuka, kami memperkenalkan berbagai nama tanaman yang tumbuh di sekitar kampung. Kami mengajarkan cara membuat pupuk sederhana dari bahan alami, serta praktik langsung menanam bibit. Anak-anak menyentuh tanah dengan tangan kecil mereka, penuh semangat. Di akhir sesi, kami juga mengajarkan cara mencuci tangan dengan benar.

Lalu di kelas kreatif, kami mengajak mereka membuat kerajinan tangan dari plastik bekas—yang disulap menjadi bunga warna-warni. Kami menggambar, mewarnai, bernyanyi, dan bermain games sederhana. Sorak-sorai mereka menjadi semacam lagu kebahagiaan tersendiri. Kami membagikan hadiah-hadiah kecil. Mata mereka berbinar seperti langit pagi di pegunungan. Hari itu, kami benar-benar tidak hanya mengajar. Kami menyerap energi dari semangat anak-anak, dari pelukan mereka, dari cara mereka memanggil kami "kakak " dengan penuh kasih.


Hari Ketiga – Huruf-Huruf yang Tumbuh di Tengah Gerimis

Pagi itu, gerimis turun perlahan, seperti rintik kenangan yang turun satu-satu dari langit. Tapi anak-anak Pattung tidak pernah mengeluh soal hujan. Dengan kaki kecil mereka yang basah, mereka datang seperti biasa—membawa semangat yang lebih hangat dari matahari.

Setelah sholat, kami membuka dua kelas: literasi dan inspirasi. Aku dan teman-teman relawan membagi anak-anak dalam dua kelompok mereka yang belum mengenal huruf, dan yang sudah bisa membaca dan menulis. Aku memilih kembali bersama Agus. Ia duduk di sudut, memegang pulpen dengan canggung.

“Agus, kita belajar nulis, ya,” ucapku pelan sambil duduk di sebelahnya. Ia mengangguk. Kupandangi kertas kosong di depannya, dan kubiarkan ia mencoba sendiri. Ia menulisnya pelan, agak gemetar, tapi penuh usaha: “Pe… sa ..wat…”

Aku tak menyela.

Aku tahu, di balik huruf-huruf itu, ada keberanian yang sedang tumbuh. Beberapa menit kemudian, ia menyusun: “Aku suka belajar.” Aku menatapnya sambil menahan senyum.

“Bagus sekali, Agus. Kamu hebat hari ini,” bisikku. Ia tak menjawab, tapi matanya mencuri pandang ke wajahku, lalu cepat-cepat menunduk. Aku tahu, itu versi diam dari senyum paling tulus yang pernah kuterima hari itu.

Kelas inspirasi tak kalah hangat. Kami memperkenalkan profesi—dokter dan polisi melalui cerita, permainan peran, dan kostum sederhana. Agus, anak laki laki kecil, memakai topi polisi, lalu berdiri sambil berkata, “Selamat pagi!”

Tawa kami pecah. Tapi di balik tawa itu, aku menyadari sesuatu: mereka mungkin belum tahu dunia luar…tapi dunia dalam diri mereka sedang dibangun. Kami menutup hari dengan lingkaran besar, menyanyi, dan doa kecil bersama. Malamnya, kami mengaji bersama di dalam masjid. Langit masih kelabu, dan malam itu, Aisyah bertanya padaku sambil menyelipkan jari ke tanganku:

“Kak, besok masih di sini, kan?”

Aku terdiam. Tak ada yang bisa kujawab, kecuali senyuman yang menggantung.


Hari Keempat – Saat Waktu Mulai Berpamitan

Pagi terakhir terasa lebih hening. Kami kembali menaiki bukit kecil menuju masjid untuk sholat Subuh. Langit perlahan membuka selimut kabutnya. Burung-burung terbang rendah, dan embusan angin mengantar kami ke pelataran masjid. Di sana, kami beberapa relawan duduk di kayu depan masjid menghadap pegunungan sambil  menikmati sang matahari naik, membiarkan cerita-cerita kami yang belum sempat keluar, akhirnya punya tempat berpulang.

Kami bicara tentang luka, tentang alasan kami datang, tentang doa yang tak pernah benar-benar selesai. Aku, Dewi, hanya mendengarkan sebagian besar waktu. Tapi hatiku penuh. Pukul delapan, anak-anak mulai berdatangan. Mereka tak seramai biasanya. Tidak banyak tawa, tak banyak teriakan.

Mereka tahu… kami akan pulang. Kami berpamitan, menuruni jalan yang sama seperti saat datang. Dua jam berjalan kaki, lalu berselang satu jam motor kembali ke Makassar. Namun, perjalanan pulang tak pernah benar-benar kembali. Karena sebagian dari hati kami telah tinggal di tengah pegunungan itu, bersama anak-anak yang memanggil kami “kakak” dengan suara yang tak akan pernah pudar dari telinga.


Karena di kampung kecil di antara pegunungan itu, kami tak hanya mengajar, kami pun belajar: tentang arti hadir, tentang memberi, dan tentang cinta yang sederhana.


Tulisan refleksi ini dirangkai oleh kak Dewi Rasnianti Agus. Akrab disapa kak Dewi, selaku relawan Sekolah Jejak Nusantara (SEJARA) angkatan XL.

Best regards,

Dewi



Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama