Ayo Berdonasi untuk Pendidikan

Semua manusia dilahirkan dengan kemampuan untuk mengubah hidup orang lain. Memberi adalah salah satu kemampuan itu. Mari bersama-sama wujudkan mimpi adik-adik di sudut negeri untuk mendapatkan pendidikan yang layak.

KLIK DISINI

Nurhasanah memberikan tas kepada adik-adik
“Cinta hadir karena perkenalan, bersemi karena perhatian dan bertahan karena kesetian” quote by Unknown, jadi sebelum bercerita tentang penghapusan ujian nasional, izinkan saya memperkenalkan diri agar cinta itu hadir hingga bertahan untuk terus menginspirasi because a simple hello could lead to a million things and moments.

Nurhasanah itulah nama lengkapku kerap disapa Anna atau Aa, 4 september nanti genaplah berusia 24 tahun, lulusan UIN Alauddin Makassar jurusan Pendidikan Bahasa Inggris angkatan 2011, dari Kabupaten Sinjai tepatnya di sebuah kelurahan kecil yang bernama kelurahan Alehanuae, kecamatan Sinjai Utara. I really loves eating and reading novel.

Koin Untuk Negeri (KUN) komunitas yang bergerak dalam bidang sosial dan pendidikan, kali pertama bergabung untuk menjadi relawan dalam kegiatan seperti ini, sebagai mahasiswi pendidikan bergabung dalam komunitas seperti ini sangatlah baik untuk menambah wawasan tentang kehidupan di sisi kiri atau pedalaman yang anak-anaknya memiliki semangat belajar yang tinggi namun memiliki fasilitas yang kurang memadai bahkan serba kekurangan. Berbagi dengan mereka jelas akan sangat menyenangkan, pengetahuan baru dan pengalam baru jelas akan ada di sekitar kita, karena hidup tidak hanya untuk diri sendiri namun berbagi itu jauh lebih baik. Nah, itu alasan saya mengapa ingin menjadi relawan di KUN angkatan III.

Mari, lanjut ke pembahasan intinya, setelah perkenalan singkat dan tujuan saya mengapa ingin bergabung menjadi relawan. Dari meeting pertama saya mendapatkan tema “Penghapusan UN” sebagai syarat untuk ikut meeting ke dua. Nah, bercerita tentang penghapusan UN, saya sendiri setuju jika UN dihapuskan karena kita telah bersekolah 3 tahun, melewati banyak ulangan harian, ulangan praktik, materi, waktu istirahat kadang tersita dan tiba-tiba semuanya menjadi tidak berarti karena Ujian Nasional lah yang menjadi penentu kelulusan siswa, banyak orang tua siswa dan terkhususnya siswa sendiri merasa kecewa dengan UN yang menjadi penentu kelulusan, waktu yang telah dilewati tidaklah singkat, mereka kadang mengorbankan banyak hal untuk 3 tahunnya yang lebih baik, namun di akhir, UN lah yang menjadi penentunya dengan soal-soal yang begitu mencekik.

Gerakan adanya penolakan terhadap pelaksanaan UN secara gencar berlangsung beberapa tahun terakhir seiring degan munculnya kebijakan pemerintah untuk menjadikan evaluasi tahap akhir siswa yang sebelumnya sempat diserahkan ke pihak sekolah kembali diberlakukan secara nasional. Standar angka kelulusan siswa pun terus meningkat setiap tahunnya, masih teringat jelas ketika saya mengikuti UN di SMP 1 Sinjai Utara pada tahun 2008,dimana saat itu hidupku betul-betul akan berpihak pada hasil UN tanpa melihat langkahku selama 3 tahun menempuh pendidikan, dari 200 siswa yng mengikuti UN hanya 50 % yang dinyatakan lulus UN yaitu 100 orang dan 100 orang yang tidak berhasil saat itu harus mengikuti ujian paket C.Sekolahku saat itu berada di kota dan sekolah yang berada di pelosok sinjai tidak seberuntung kami, bahkan ada sekolah yang nyaris siswanya tak ada yang lulus. Wajar saja jika masyarakat resah dan menolak UN sebagai penentu kelulusan.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy berkata bahwa UN direncanakan dihentikan untuk sementara pada tahun 2017 ini. Dalam putusan itu, pemerintah diperintahkan untuk meningkatkan kualitas guru, kelengkapan sarana dan prasarana sekolah serta akses informasi di seluruh indonesia, namun keputusan ini masih belum final seperti yang dikabarkan oleh presiden Jokowi, ia menegaskan bahwa penghapusan UN yang diwacanakan kementrian pendidikan dan kebudayaan masih sebatas wacana. “masih proses, belum di rapatkan” ujar jokowi di sela kunjungan kerjanya di Makassar. Hal inilah yang cukup meresahkan orang tua dan siswa-siswa terkhusus yang akan menghadapi UN di tahun 2017.

Bagaimana dengan siswa yang berada di pedalaman? Yang begitu kekurangan fasilitas dan informasi yang terkait dengan pelaksaan UN, soal UN pun akan terasa berat bagi mereka, belajar membaca saja mereka butuh waktu yang lama sedangkan UN dengan puluhan soal hanya dikerjakan sekitaran kurang lebih dari 3 jam, mengisi biodata hingga membulati kadang menjadi kendala untuk siswa. Apakah mutu pendidikan dapat di ukur dengan memberikan ujian akhir secara nasional? Sangatlah meresahkan.

Mutu pendidikan tidak mungkin diukur dengan pelaksaan ujian secara nasional, hanya beberapa mata pelajaran saja, UN tidak akan menjawab seberapa hebatnya siswa di bidang seni ataupun olahraga, UN tidak mampu mengukur seberapa mampu siswa mengemukakan pendapat dan bersikap demokratis, bukankah itu bagian dari pendidikan? Hapuskan UN dan mari memperbaiki mutu pendidikan di Indonesia secara merata sampai ke pelosok negeri. Salam inspirasi.

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.