Refleksi oleh Kak Ici - Menyapa Berlian di Dusun Yang Tak Terlihat

 

Dokumentasi pribadi milik Komunitas Koin Untuk Negeri
 
 
Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
 
Haloo sobat-sobat KUNers yang menginspirasi!😄 

Semoga kabar sobat KUNers sekalian senantiasa dalam keadaan yang sehat dan tetap semangat melalui hari-hari yang kerap memenuhi isi kepala. Semoga tulisan ini bisa membawa sedikit ketenangan di kala berisiknya dunia bersuara🌟

Siang itu, aku memulai perjalanan menuju Dusun Datara, sebuah dusun kecil di antara perbukitan Kabupaten Gowa yang tak semua orang tahu keberadaannya. Jalan yang kujalani pun bukan jalan biasa. Kami menapaki tanah merah yang terjal, mendaki gunung demi gunung di bawah terik matahari yang perlahan condong ke barat. Nafasku berat, langkah kaki terasa lambat, tapi semangat di dada justru semakin kuat. Setiap tanjakan menuntut tenaga, tapi juga menghadiahkan pemandangan yang memukau. Ya, hamparan sawah di kejauhan dan angin gunung yang membawa aroma tanah basah. Di tengah perjalanan, aku sempat berhenti, menatap ke langit yang mulai berwarna oranye. Saat itu, aku sadar, perjalanan ini bukan hanya menuju tempat baru, tapi juga menuju pelajaran hidup yang tak pernah diajarkan di ruang mana pun.

Langit mulai berwarna ungu keemasan. Aku telah tiba di Dusun Datara dengan tubuh lelah, tapi hati yang penuh syukur. Dusun itu sederhana, rumah-rumah kayu berdiri di antara pepohonan, suara ayam bercampur dengan azan yang menggema. Udara dingin gunung menyapa lembut kulit, sementara aroma kayu bakar dan asap dapur membuat suasana begitu hangat dan akrab. Aku tinggal di sana selama empat hari tiga malam, ya, waktu yang cukup singkat, tapi cukup untuk mengubah caraku memandang dunia. Di hari pertama mengajar, aku bertemu dengan anak-anak yang luar biasa. Mereka datang ke sekolah dengan sandal jepit yang sudah lusuh, sebagian membawa buku di dalam sakunya. Namun, semangat di mata mereka begitu menyala, jernih, polos, dan berkilau. Di tempat itulah aku tersadar, mereka adalah berlian di dusun yang tak terlihat. Berlian yang tidak disimpan di etalase, tapi di ladang, di jalan berlumpur, di hati yang kuat meski hidup sederhana. 

Anak-anak itu adalah cahaya yang tertutup debu keterbatasan, tapi kilaunya tidak pernah padam.

Aku mengajar mereka membaca, menulis, berhitung, dan menggambar. Namun, sesungguhnya akulah yang paling banyak belajar. Belajar dari ketekunan mereka, dari tawa yang tetap tulus meski tanpa mainan, dari semangat yang tak luntur meski sekolahnya tak seperti sekolah pada umumnya. Aku menatap salah satu mata anak itu, mata yang bening dan aku berkata lirih sambil tersenyum “Kamu bisa jadi apa saja yang kamu mau. Dunia ini menunggumu bersinar.” Anak itu membalas senyumku, senyum manis dengan mata yang agak sipit, ia lalu berlari mengejar teman-temannya. Mereka mungkin hidup di tempat yang jauh, tapi mimpi mereka tinggi dan semestinya dunia memberi ruang agar mereka bisa mencapainya.

Malam di Dusun Datara yang sunyi, angin gunung berhembus lembut, dan langit bertabur bintang. Aku duduk di depan rumah tempatku menginap, menatap bintang-bintang yang terasa begitu dekat. Dalam hati aku berkata, 

“Tuhan, di dusun ini, Kau sembunyikan berlian-Mu. Anak-anak cerdas dan penuh cahaya. Hanya saja, tak banyak orang yang datang untuk melihat mereka bersinar.”

            Hari demi hari berlalu. Kami belajar, bermain, tertawa, dan saling bercerita. Aku mulai mengenal nama mereka satu per satu. Anak-anak yang dengan bangga memperlihatkan tulisannya, hasil hitungan, bahkan gambar sederhana hasil dari imajinasi mereka. Setiap karya mereka adalah bukti bahwa kecerdasan tidak selalu lahir dari fasilitas, tapi dari tekad dan cinta untuk belajar.

Hari terakhir pun tiba. Aku berdiri di depan sekolah dengan perasaan campur aduk. Anak-anak berkerumun dan memeluk erat seolah tak mau melepaskanku dan teman-teman relawan lainnya. Aku tersenyum, tapi suaraku tercekat. Empat hari di Dusun Datara telah menorehkan jejak yang dalam, jejak kasih, jejak pembelajaran, serta jejak keikhlasan.

Perjalanan pulang menuruni gunung terasa berbeda. Langkahku ringan, tapi hatiku berat. Aku meninggalkan tempat yang mungkin kecil di peta, tapi besar dalam makna. Di setiap tikungan dan tanjakan, aku seolah masih mendengar tawa mereka, masih melihat mata mereka yang bercahaya. Dusun Datara mungkin tak terlihat di mata dunia, tapi di sanalah aku menemukan berlian sejati, anak-anak yang bersinar dalam kesunyian, menunggu tangan-tangan yang mau datang, menyapa, dan percaya pada cahaya mereka. Kini, tiap kali aku menatap langit malam, aku selalu ingat empat hari di sana. Aku tahu, di balik gunung yang jauh itu, ada bintang-bintang kecil yang terus belajar bersinar. Dan aku berjanji, suatu hari nanti, aku akan kembali, bukan sekadar untuk mengajarnya, tapi untuk menjaga kilau berlian-berlian kecil yang pernah kusapa di dusun yang tak terlihat itu.

Refleksi ini dipersembahkan kepada setiap generasi muda sekaligus tunas bangsa yang selalu berjuang mewujudkan cita-cita luhur mereka. Setiap rangkaian kalimat dari tulisan ini dibuat dengan sepenuh hati atas keprihatinan terhadap kondisi pendidikan di wilayah pelosok yang belum merata oleh kak Disy Ayu Anggraeni Novia Rizky. Pun akrab disapa Kak Ici yang merupakan relawan Sekolah Jejak Nusantara (SEJARA) angkatan XXXVII. Oh iya sobat KUNers, kak Ici jugseorang mahasiswi yang selangkah lagi menyandang gelar sarjananya di Universitas Hasanuddin, lho.

Tetaplah berbahagia dan menginspirasi,

Ici
 

#Komunitas_KUN

#DariSudutNegeriKitaMenginspirasi
 
 
 

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama