Rehat, 3 tahun adalah waktu yang cukup, lebih dari cukup,
bahkan tidak seharusnya selama itu. Saya mencoba melawan diri sendiri,
mencoba untuk tak acuh meski tidak sepenuhnya. Dengan pembelaan
diri, bahwa masih dan akan ada banyak orang yang akan melihat kearah sana.
Bukan hanya saya, bukan hanya “KITA” dan itu nyata. Meski tidak senyata ketika
saya tetap satu di antara banyak orang tersebut. Saya hanya meyakini bahwa hal
tersebut telah dititipkan dalam setiap diri manusia. “Humanity”
Akan ada fase dimana kita
harus berhenti terhadap suatu hal, pun-sebaliknya.
“Pelosok” satu kata yang membawa saya ke dalam renungan
atas kenyamanan, renungan atas bahagia, dan atas kebanggaan yang tak perlu naif
pada diri sendiri. Renungan atas waktu ketika saya berada pada fase tersebut.
Berjalan bersama kawan yang sejalan,
menjadi bagian dari setiap hal yang
membutuhkan kita, sebab Kita Adalah Mereka.
Kembalilah pada kebaikan, sebab itu jalan untuk kembali.
Saya tidak mengenal KUN, begitu juga dengan SEJARA. Semoga
kata rehat bisa membela saya atas ketidaktahuan akan mereka. Mereka yang
termasuk di antara banyak orang yang kusebutkan tadi. Mereka “KUN” yang menjadi
jembatan untuk saya masuk ke dalam renungan. Mereka yang entah siapa dengan
siapa, yang saya tahu mereka akan membawa saya pada kondisi yang serupa.
Kembali menjadi satu di antara banyak orang yang merasakan bahagia atas hal
yang tidak cukup hanya untuk dilihat, sehingga itu tidak lagi menjadi renungan
melainkan nyata. Bahagia menjadi bagian dari mereka.
Ini hanya gambaran kecil dari segelintir yang banyak. Saya
mulai dengan meminjam karakter gadis kecil bernama Vina. Gadis kecil yang saat
itu sedang menimbah ilmu di sebuah tempat yang disebut- seklah “oleh mereka”.
Bangunan dasar, maaf maksud saya Sekolah Dasar yang berdomisili di sebuah desa
yang cukup jauh dari lingkungan perkotaan.
Kenapa berhenti? “Tanyaku kepada Vina”. Ada sedikit lelah
di wajahnya. Vina capai?. Kira kira di langkah
kami sejauh 4 km. “ Duluan saja kak,
Vina akan menyusul. “Balas Vina pada saya”. Tidak lebih dari 5 menit kami kami terhenti sembari
menarik nafas. Saya hanya bisa diam menatapnya. Kemudian dia berkata “Ayo kak!”
Kami melanjutkan perjalanan. Saya menaruh rasa kagum pada gadis kecil itu, dibumbui
dengan sedikit rasa malu pada
diri. Seolah lelahnya dikalahkan oleh tekad dan harapannya. Saya pun merasa
ditantang olehnya untuk terus bercerita sembari melangkahkan kaki di 4 km
terakhir. Tidak hentinya dia menjawab seluruh pertanyaan yang saya berikan
dengan nafas yang sudah tidak stabil. Bercerita tentang asal usulnya, sampai
pada kesehariannya menuju tempat ia menimbah
ilmu. “Mereka” menamainya Kelas Jauh Sekolah Dasar yang tak kusebutkan.
Berbicara tentang sekolah atau dunia pendidikan. Akan
membawa pikiran kita pada sebuah lingkungan di mana ada banyak anak, ada
belasan bahkan puluhan ruangan yang di dalamnya terdapat pula puluhan pasang
meja dan kursi yang disusun rapi. Namun sayang, di ujung perjalanan saya
kembali naif lewat senyum, lelah tubuh terkalahkan, pikiran tak lagi
beristirahat, hingga ekspektasi menuju 76 tahun kemerdekaan Indonesia kembali
menciut.
“Aku,
ingin keluar dari aku yang sebenarnya”
Setiap tempat adalah sekolah. Ungkapan yang menyelamatkan
pikiran ini untuk tetap menyebut “Sekola” dan menginjak “tanah” tempat Vina
menimbah ilmu. Tanah yang kusebut dalam arti yang sebenarnya. Mungkin!?. Ini
satu di antara sejumlah wujud kecintaan pada Negara yang ingin ditanamkan melalui
bangku pendidikan. Atau mungkin, sudah menjadi ciri bangunan sekolah di daerah
pelosok yang hanya beralaskan tanah dan puluhan anak jendela yang tak ber-ibu.
Bangku, meja, papan tulis, serta papan nama sekolah yang membuat bangunan itu
secara resmi disebut sekolah.
Memperkenalkan diri atas dasar kedekatan emosional, berbagi
ilmu yang diselingi canda dan tawa, menyanyikan berbagai macam lagu untuk membangun
semangat, membawa diri kita menjadi
mereka untuk kemudian mereka menjadi lebih dari kita, semuanya hanyalah
jembatan kecil yang coba kita bangun dari sekian banyak jembatan yang telah
runtuh oleh keserakahan dan sikap tak acuh. 3 Hari, bahkan 76 tahun bukanlah
waktu yang cukup untuk mencerdaskan anak bangsa, terlebih mencerdaskan
kehidupan bangsa sebab masih banyak dan akan selalu ada Vina yang baru. Masih
banyak ketidaklayakan yang diselipkan di pelosok Negeri Indonesia.
Perkenalkan,
nama saya Syahrir. Pria kelahiran 1991 yang saat ini dalam proses mengenali
diri, masih dan sedang belajar dari segala yang terlihat, terdengar dan terasa.
Terima kasih ku untuk KUN dan Dusun Buntu Lumu.
Pulanglah!
Hanya sebab inti surgamu menanti Kembalilah dan tiba
sebelum berangkat Pulang untuk kembali sebelum berpulang
Kak Syahrir
Relawan Angkatan 5 Kun Cabang Palopo
Posting Komentar