Ayo Berdonasi untuk Pendidikan

Semua manusia dilahirkan dengan kemampuan untuk mengubah hidup orang lain. Memberi adalah salah satu kemampuan itu. Mari bersama-sama wujudkan mimpi adik-adik di sudut negeri untuk mendapatkan pendidikan yang layak.

KLIK DISINI

 


Rehat, 3 tahun adalah waktu yang cukup, lebih dari cukup, bahkan tidak seharusnya selama itu. Saya mencoba melawan diri sendiri, mencoba untuk tak acuh meski tidak sepenuhnya. Dengan pembelaan diri, bahwa masih dan akan ada banyak orang yang akan melihat kearah sana. Bukan hanya saya, bukan hanya “KITA” dan itu nyata. Meski tidak senyata ketika saya tetap satu di antara banyak orang tersebut. Saya hanya meyakini bahwa hal tersebut telah dititipkan dalam setiap diri manusia. “Humanity”

Akan ada fase dimana kita harus berhenti terhadap suatu hal, pun-sebaliknya.

“Pelosok” satu kata yang membawa saya ke dalam renungan atas kenyamanan, renungan atas bahagia, dan atas kebanggaan yang tak perlu naif pada diri sendiri. Renungan atas waktu ketika saya berada pada fase tersebut. Berjalan bersama kawan yang sejalan, menjadi bagian dari setiap hal yang membutuhkan kita, sebab Kita Adalah Mereka.

Kembalilah pada kebaikan, sebab itu jalan untuk kembali.

Saya tidak mengenal KUN, begitu juga dengan SEJARA. Semoga kata rehat bisa membela saya atas ketidaktahuan akan mereka. Mereka yang termasuk di antara banyak orang yang kusebutkan tadi. Mereka “KUN” yang menjadi jembatan untuk saya masuk ke dalam renungan. Mereka yang entah siapa dengan siapa, yang saya tahu mereka akan membawa saya pada kondisi yang serupa. Kembali menjadi satu di antara banyak orang yang merasakan bahagia atas hal yang tidak cukup hanya untuk dilihat, sehingga itu tidak lagi menjadi renungan melainkan nyata. Bahagia menjadi bagian dari mereka.

Ini hanya gambaran kecil dari segelintir yang banyak. Saya mulai dengan meminjam karakter gadis kecil bernama Vina. Gadis kecil yang saat itu sedang menimbah ilmu di sebuah tempat yang disebut- seklah “oleh mereka”. Bangunan dasar, maaf maksud saya Sekolah Dasar yang berdomisili di sebuah desa yang cukup jauh dari lingkungan perkotaan.

Kenapa berhenti? “Tanyaku kepada Vina”. Ada sedikit lelah di wajahnya. Vina capai?. Kira kira di langkah kami sejauh 4 km. Duluan saja kak, Vina akan menyusul. “Balas Vina pada saya”. Tidak lebih dari 5 menit kami kami terhenti sembari menarik nafas. Saya hanya bisa diam menatapnya. Kemudian dia berkata “Ayo kak!”

Kami melanjutkan perjalanan. Saya menaruh rasa kagum pada gadis kecil itu, dibumbui dengan sedikit rasa malu pada diri. Seolah lelahnya dikalahkan oleh tekad dan harapannya. Saya pun merasa ditantang olehnya untuk terus bercerita sembari melangkahkan kaki di 4 km terakhir. Tidak hentinya dia menjawab seluruh pertanyaan yang saya berikan dengan nafas yang sudah tidak stabil. Bercerita tentang asal usulnya, sampai pada kesehariannya menuju tempat ia menimbah ilmu. “Mereka” menamainya Kelas Jauh Sekolah Dasar yang tak kusebutkan.

Berbicara tentang sekolah atau dunia pendidikan. Akan membawa pikiran kita pada sebuah lingkungan di mana ada banyak anak, ada belasan bahkan puluhan ruangan yang di dalamnya terdapat pula puluhan pasang meja dan kursi yang disusun rapi. Namun sayang, di ujung perjalanan saya kembali naif lewat senyum, lelah tubuh terkalahkan, pikiran tak lagi beristirahat, hingga ekspektasi menuju 76 tahun kemerdekaan Indonesia kembali menciut.

“Aku, ingin keluar dari aku yang sebenarnya”

Setiap tempat adalah sekolah. Ungkapan yang menyelamatkan pikiran ini untuk tetap menyebut “Sekola” dan menginjak “tanah” tempat Vina menimbah ilmu. Tanah yang kusebut dalam arti yang sebenarnya. Mungkin!?. Ini satu di antara sejumlah wujud kecintaan pada Negara yang ingin ditanamkan melalui bangku pendidikan. Atau mungkin, sudah menjadi ciri bangunan sekolah di daerah pelosok yang hanya beralaskan tanah dan puluhan anak jendela yang tak ber-ibu. Bangku, meja, papan tulis, serta papan nama sekolah yang membuat bangunan itu secara resmi disebut sekolah.

Memperkenalkan diri atas dasar kedekatan emosional, berbagi ilmu yang diselingi canda dan tawa, menyanyikan berbagai macam lagu untuk membangun semangat, membawa diri kita menjadi mereka untuk kemudian mereka menjadi lebih dari kita, semuanya hanyalah jembatan kecil yang coba kita bangun dari sekian banyak jembatan yang telah runtuh oleh keserakahan dan sikap tak acuh. 3 Hari, bahkan 76 tahun bukanlah waktu yang cukup untuk mencerdaskan anak bangsa, terlebih mencerdaskan kehidupan bangsa sebab masih banyak dan akan selalu ada Vina yang baru. Masih banyak ketidaklayakan yang diselipkan di pelosok Negeri Indonesia.


Perkenalkan, nama saya Syahrir. Pria kelahiran 1991 yang saat ini dalam proses mengenali diri, masih dan sedang belajar dari segala yang terlihat, terdengar dan terasa.

Terima kasih ku untuk KUN dan Dusun Buntu Lumu.

Pulanglah!

Hanya sebab inti surgamu menanti Kembalilah dan tiba sebelum berangkat Pulang untuk kembali sebelum berpulang


Kak Syahrir

Relawan Angkatan 5 Kun Cabang Palopo

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.