Penulis : Nurul Syaqira Putri
bersiaplah
dihadapkan oleh sesuatu yang mungkin tidak kamu duga. Selalu percaya, hal yang
besar akan datang jika diri sudah siap, dan akan selalu ada hal – hal kecil
dari usaha yang diperjuangkan bisa berdampak
untuk orang sekitar,. Maka belajarlah untuk menerima kegagalan.
Maka
sekarang kesempatan itu hadir memberikan saya peluang untuk mencoba membuka
mata terhadap masa depan negeri, yaitu, mencari dan mengulurkan tangan membantu
pendidikan di pelosok.
Dibulan
Oktober, Komunitas Koin Untuk Negeri berencana melakukan kegiatan rutin
mengajar, Kak Aim merupakan Kordinator dari divisi Ekspedisi di Komunitas Koin
Untuk Negeri (Kun) yang bergerak di bidang pendidikan untuk sekolah-sekolah
yang ada di pelosok. Sebagai tim ekspedisi Komunitas KUN, Kak Aim dan teman
teman se-devisi mencoba mencari daerah pelosok 3 bulan yang lalu. Hingga,
informasi mengenai sebuah kampung di salah satu desa di Maros di dapatkan
melalui temannya yang juga merupakan akamsi dan kebetulan desanya tersebut
pernah diliput oleh trans7 yang merupakan salah satu stasiun televisi terbesar
di Indonesia.
Kampung
Pattung, terletak di dusun Bonto – bonto, desa Bonto somba kecamatan Tompobulu,
kabupaten Maros, lokasi inilah yang tim ekspedisi dapatkan 3 bulan lalu. Kegiatan
mengajar rutin kembali akan dilakukan untuk ke 4 kalinya di kampung Pattung
dusun Bonto -Bonto dengan membawa rombongan baru. Pemberangkatan yang di
agendakan pada tanggal 26 Oktober dan 18 desember 2024 membawa saya datang
melihat langsung kondisi anak – anak di Kampung Pattung. Perjalanan yang
menempuh kurang lebih satu setengah jam mengendarai sepeda motor dan kurang
lebih dua jam berjalan kaki dari Lokasi parkir motor ke Kampung tujuan, Pattung.
Bukan
tanpa alasan, bukan juga ingin melatih otot kaki dengan sengaja. Alasan lain
adalah Keadaan memaksa kita untuk berjalan kaki kesana. Menurut pengalaman pertama
saat melakukan ekspedisi perdana, Kak Aim mencoba memaksakan motor fino mungilnya
melintasi jalanan bertanah, bebatuan, dan melintasi beberapa sungai. Sayangnya
saat kembali dari ekspedisi ban motornya bocor. Sedangkan dari pengalaman saya
sendiri yang baru dua kali melakukan perjalanan ke sana dengan kondisi cuaca
berbeda inilah sehingga saya dapat menyimpulkan sebuah perbedaan alasan kuat
mengapa permasalahan akses adalah poin utama penyebab anak – anak di kampung
Pattung malas datang bersekolah selain jarak perjalananya yang jauh, ketika
sedang masuk musim hujan lokasi tersebut memiliki kurang lebih tiga aliran sungai
yang besar melintasi jalur akses umum dan arusnya menjadi tinggi. Ada yang
setinggi lutut orang dewasa yang memiliki tinggi 157 cm. mungkin untuk anak
usia sekolah dasar kurang lebih tinggi aliran sungai yang harus mereka lewati
setinggi dada mereka.
Untuk membenarkan asumsi atas apa yang saya simpulkan setelah melewati akses jalan yang rumit itu, saya mencoba untuk berbincang dengan Pak Imam yang biasa mengajar anak – anak untuk mengaji di kampung Pattung. Ia mengatakan bahwa hampir 20 orang siswanya lebih memilih membantu kedua orang tuanya berkebun daripada harus datang ke sekolah karena jarak berjalan kaki yang jauh. Faktor musim juga sempat beliau sebutkan, permasalahan saat musim kemarau hanya akses yang jauh sedangkan kalau musim hujan permasalahan paling utama selain akses jalan kaki yang jauh adalah tingginya arus sungai yang harus mereka lewati.
Tak
hanya berbicang dengan Pak Imam saja, tentu data yang coba saya temukan harus
di perkuat oleh yang mengalami secara langsung. Saya bertemu Ryan, Mita,
Suarni, dan beberapa dari mereka untuk memastikannya lebih dalam tetapi tetap
saja jawaban yang diberikan tetap sama. Ryan juga mengakui bahwa orang tuanya
melarangnya datang bersekolah ketika musim hujan tiba. Lalu bagaimana jika saat
kemarau dan ingin datang belajar kesekolah
pukul berapa mereka berangkat dari rumah? dan pukul berapa mereka sampai
kesekolah? semua serentak menjawab berangkat dari rumah jam 6 pagi dan akan
sampai kesekolah jam 8 pagi dengan berjalan kaki.
Pemasalahan
akses inilah yang membuat beberapa dari mereka sudah berapa bulan tidak datang
bersekolah. Salah satunya Suarni yang sudah berusia 17 tahun akhirnya
memutuskan putus sekolah saat kelas 6 SD dan tidak memiliki ijazah SD.
Kasus
ini sudah lama terjadi, bukankah pihak sekolah perlu mencari tau alasan mengapa
beberapa muridnya tidak datang untuk bersekolah? Bahkan pernahka mereka berpikir
untuk mencari tau alasan mengapa ada muridnya yang harus berhenti sekolah?. Lalu
usaha apa dan solusi apa yang telah mereka coba lakukan untuk permasalahan ini?.
Tak
pernah terbayangkan bahwa saya akan menjadi salah satu saksi betapa
menyedihkannya pendidikan di Indonesia. Para birokrasi yang tak henti –
hentinya berlomba mengucapkan janji – janji untuk pembangunan yang tak jelas
fungsinya, haus akan validasi kinerja yang tidak seberapa, lalu buta bahwa
pembetukan sumber daya manusia lah yang perlu dibangun dan diperbaiki?.
Padahal
semangat mereka datang untuk belajar saat melihat kedatangan kami dengan maksud
mengajar rutin begitu antusias. Beragam usia ikut meramaikan Masjid yang menjadi
titik kumpul mereka jika ingin belajar. Beragam kemampuan dalam mengenal huruf
dan membaca di beberapa kalangan umur juga berbeda – beda.
Bukankah sudah jelas alasan pengadaan kelas jauh sudah sangat kuat untuk anak – anak yang berada di Kampung Pattung?, bahkan, beberapa Masyarakat sudah melakukan pengajuan ke pihak sekolah untuk diadakan kelas jauh. Namun, mengapa saat ini belum ada pergerakan yang dilakukan oleh pihak sekolah untuk merespon hal tersebut?. Apakah tidak takut jika dibiarkan begitu saja akan hilang? Maksudnya adalah generasi inilah yang perlu di bentuk untuk meningkatkan sumber daya manusia melalui pendidikan. Lalu, apa alasan yang berkuasa untuk buta melihat fakta yang benar adanya ini?